Polly po-cket

Karena perjuangan dan
pengorbanannya akhirnya
putrinya bisa melanjutkan studinya
diluar kota. Di sana putrinya jatuh
cinta kepada seorang pemuda
anak dari seorang konglomerat
beken. Putrinya tidak pernah mau
mengakui bahwa ia masih
mempunyai orang tua. Ia merasa
malu bahwa ia ditinggal minggat
oleh ayah kandungnya dan ia
merasa malu mempunyai seorang
ibu yang bekerja hanya sebagai
babu pencuci piring di restaurant.
Oleh sebab itulah ia mengaku
kepada calon suaminya bahwa
kedua orang tuanya sudah
meninggal dunia.
Pada saat putrinya menikah,
ibunya hanya bisa melihat dari
jauh dan itupun hanya pada saat
upacara pernikahan di gereja saja.
Ia tidak diundang, bahkan
kehadirannya tidaklah diinginkan.
Ia duduk di sudut kursi paling
belakang di gereja, sambil
mendoakan agar Tuhan selalu
melindungi dan memberkati
putrinya yang tercinta. Sejak saat
itu bertahun-tahun ia tidak
mendengar kabar dari putrinya,
karena ia dilarang dan tidak boleh
menghubungi putrinya. Pada suatu
hari ia membaca di koran bahwa
putrinya telah melahirkan seorang
putera, ia merasa bahagia sekali
mendengar berita bahwa ia
sekarang telah mempunyai
seorang cucu. Ia sangat
mendambakan sekali untuk bisa
memeluk dan menggendong
cucunya, tetapi ini tidak mungkin,
sebab ia tidak boleh menginjak
rumah putrinya. Untuk ini ia
berdoa tiap hari kepada Tuhan,
agar ia bisa mendapatkan
kesempatan untuk melihat dan
bertemu dengan anak dan
cucunya, karena keinginannya
sedemikian besarnya untuk bisa
melihat putri dan cucunya, ia
melamar dengan menggunakan
nama palsu untuk menjadi babu di
rumah keluarga putrinya.
Ia merasa bahagia sekali, karena
lamarannya diterima dan
diperbolehkan bekerja disana. Di
rumah putrinya ia bisa dan boleh
menggendong cucunya, tetapi
bukan sebagai Oma dari cucunya
melainkan hanya sebagai babu
dari keluarga tersebut. Ia merasa
berterima kasih sekali kepada
Tuhan, bahwa ia permohonannya
telah dikabulkan.
Di rumah putrinya, ia tidak pernah
mendapatkan perlakuan khusus,
bahkan binatang peliharaan
mereka jauh lebih dikasihi oleh
putrinya daripada dirinya sendiri.
Di samping itu sering sekali
dibentak dan dimaki oleh putri dan
anak darah dagingnya sendiri,
kalau hal ini terjadi ia hanya bisa
berdoa sambil menangis di dlm
kamarnya yang kecil di belakang
dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau
mengampuni kesalahan putrinya,
ia berdoa agar hukuman tidak
dilimpahkan kepada putrinya, ia
berdoa agar hukuman itu
dilimpahkan saja kepadanya,
karena ia sangat menyayangi
putrinya.
Setelah bekerja bertahun-tahun
sebagai babu tanpa ada orang
yang mengetahui siapa dirinya
dirumah tersebut, akhirnya ia
menderita sakit dan tidak bisa
bekerja lagi. Mantunya merasa
berhutang budi kepada pelayan
tuanya yang setia ini sehingga ia
memberikan kesempatan untuk
menjalankan sisa hidupnya di
rumah jompo.